Retrospring is shutting down on 1st March, 2025 Read more
Dengan penuh kehati-hatian, aku mengeluarkan gitar akustik dari tasnya, seakan mengeluarkan artefak yang sarat akan kenangan. Jemariku yang terbiasa, memetik senar-senarnya dengan lembut untuk memastikan keselarasan suara yang sempurna. Setelah meyakini bahwa nada-nadanya telah harmonis, aku mulai memetik senar gitar, memainkan chord G sebagai pembuka lagu "Evaluasi" dari Hindia.
Lagu itu pun mulai mengalun, liriknya mengalir bagai sungai yang mengiringi perjalanan emosi dan pemikiran yang mendalam:
"Yang tak bisa terobati
Biarlah
Mengering sendiri
Menghias tubuh dan..."
Setiap kata terucap dengan penuh perasaan, membingkai kisah tentang introspeksi dan perjuangan batin yang tak terlihat oleh mata dunia. Suara gitarku mengiringi setiap bait, menciptakan suasana yang sarat akan renungan dan pemahaman.
"Yang mengevaluasi
Ragamu
Hanya kau sendiri
Mereka tak mampu
Melewat yang telah kau lewati..."
Nada-nada itu menggema dalam keheningan, menggambarkan perjalanan panjang yang penuh liku, rintangan yang harus dihadapi, dan kelelahan yang tak terucapkan. Setiap petikan senar menambah kedalaman makna yang terkandung dalam lirik.
"Masalah yang mengeruh
Perasaan yang rapuh
Ini belum separuhnya
Biasa saja
Kamu tak apa..."
Lagu itu terus mengalun, mengajak pendengar untuk merenung dan memahami bahwa segala kesulitan dan penderitaan adalah bagian dari perjalanan yang belum selesai. Setiap nada dan lirik membawa pesan tentang keteguhan hati dan harapan yang tak pernah pudar.
"Bilas muka, gosok gigi, evaluasi
Tidur sejenak menemui esok pagi..."
Dengan sentuhan akhir yang lembut, aku menyelesaikan lagu tersebut, meninggalkan jejak harmoni yang menggema di udara. Senyum kepuasan menghiasi wajahku, menyiratkan rasa syukur dan kebanggaan atas persembahan musikal yang baru saja kulakukan.
Perlahan, aku memasukkan kembali gitar ke dalam tasnya dengan penuh penghormatan, memastikan setiap detail terjaga dengan baik. Gitar itu kemudian kugantungkan di belakang tubuhku, seolah-olah membawa kenangan indah bersamanya.
Dengan langkah yang tenang namun penuh arti, aku mengeluarkan tas cerewet dari saku, dan dengan senyum penuh harap, menodongkannya di hadapanmu. Sebuah isyarat halus yang meminta imbalan atas persembahan musikal yang baru saja kusajikan, mengharapkan pengakuan atas upaya yang telah kulakukan dengan sepenuh hati.
Sejenak termenung dengan pemandangan yang berada di hadapan, ponsel yang masih tertera nama yang amat sangat ingin saya hindari masih menyala, masih tersambung dengan khidmat jua denting pesan yang bertubi-tubi dari notifikasi. Entah bagaiman dan entah saya harus menjabarkan titik mula yang membuat syaraf saya sejenak seolah berhenti untuk memberi rangsang, otak yang berhenti untuk memberi kode dan tubuh yang seolah kaku. Juluran tangan itu tidak pernah terbayangkan pada benak, sedikit 'pun tidak pernah berharap atau setitik rasa untuk memberi. Masih terpaku, saya hanya menatap sosok buram namun tegap berdiri dengan harapan bahwa saya akan mengapresiasi segala hal yang telah rela ia berikan untuk saya. Bingung, itu adalah yang membuat lidah kelu juga kaki terpaku.
"Tuan?"
Suara yang sejujurnya tidaklah indah menyentil gendang telinga seolah debuman peringatan telah terkirim secara langsung.
"Ray? Kau mendengarku? Deadline, deadline! Saya menunggumu lho, Hello---- RAY!"
Ah, saya baru ingat telah mengabaikan sosok itu pada ponsel, dengan tegas saya kembali berdeham dengan menatap sosok di hadapan saya, menolak.
"Maaf saya tidak punya receh---"
"RAY!"
"IYA PROF! SAYA SEDANG MENUJU LOKASI, BERSABARLAH!"
Dengan perasaan kesal, saya meninggalkan sosok itu tanpa melihat, mengabaikan begitu saja dan berlari menyongsong angin untuk mengejar atasan saya juga deadline yang menanti.
Retrospring uses Markdown for formatting
*italic text*
for italic text
**bold text**
for bold text
[link](https://example.com)
for link