Andai saat itu Orter tidak termakan oleh egonya, saat ini pasti dirinya tengah menikmati kebebasan berdua dengan adik tercintanya. Sayangnya penyesalan selalu datang diakhir cerita. Tangannya meremas lembaran surat dengan tulisan tangan sang adik. Surat yang berisi harapan akan kedatangannya untuk menemuinya. Harapan untuk menikmati waktu dengan sang kakak. Harapan dimana Wirth memintanya untuk datang sehari sebelum kematiannya.

Orter melangkahkan kakinya memasuki sebuah ruangan dimana Wirth dirawat dulu. Masih teringat ucapan perawat yang mengatakan jika adiknya sudah berada di kamar itu selama dua tahun sebelum akhirnya menyerah dengan penyakit yang diderita. Katakan ia terlalu bodoh untuk selalu menganggap sang adik akan bisa seperti dirinya. Tapi kebodohan itu akhirnya memberikan hukumannya sendiri. Orter harus menerima kesendiriannya lagi.

Kau yang saya nanti selama ini, namun kau yang meninggalkan harapan pula pada diri saya. Bagaimanakah saya harus menyikapi diri dalam keseharian? Haruskah saya seolah bersikap baik-baik saja? Haruskah saya selalu tersenyum seperti biasa walau diri saya tidak sanggup untuk bertahan lebih jauh lagi? Tolong! Jangan memberikan saya harapan, jangan memberikan saya sebuah permulaan untuk melihatmu seolah dirimu lah yang telah bersikap seperti seorang pahlawan. Untuk dirimu, tahta tertinggi dalam hidup saya, tolong berikan saya libur panjang. Saya sudah tidak sanggup untuk mengejar deadline dan laporan yang menumpuk. Saya tahu saya ini menarik tetapi saya tidak harus bertatap muka denganmu tanpa hari libur.

Terimakasih telah mengizinkan saya mencurahkan hati, Arster-san.